Ketika Isi SPT, Apakah Pencicil KPR Wajib Lapor Pajak?
KOMPAS.com – Tak hanya penghasilan bruto dari pekerjaan, namun utang seperti cicilan kredit pemilikan rumah (KPR) juga wajib dilaporkan.
Masyarakat yang memiliki penghasilan dan ditetapkan undang-undang sebagai wajib pajak, diharuskan untuk melaporkan hartanya untuk perhitungan pajak penghasilan (PPh). Laporan itu harus segera dilakukan saat telah mendapatkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).
Walau sistem pelaporan SPT sudah semakin canggih dengan kehadiran e-filing, namun masih banyak wajib pajak merasa kebingungan harta apa saja yang harus dilaporkan. Beberapa kasus yang sering ditemukan dalam luputnya pelaporan SPT adalah soal rumah yang dibeli dengan KPR.

Walau belum lunas, apabila pembayaran cicilan KPR telah berlangsung itu berarti harta yang dimiliki pun bertambah. Di sisi lain, sisa cicilan KPR yang belum dibayar terhitung sebagai utang.
Pada dasarnya, setiap kenaikan dan penurunan harta perlu diketahui dengan seksama untuk menentukan perhitungan pajak yang akurat. Oleh karena itu, saat membeli sebuah rumah dengan cara berutang atau KPR yang masih berlangsung, tetap harus dilaporkan.
Misalnya Anda membeli sebuah rumah dengan cara KPR seharga Rp 500 juta. Ketika telah membayar uang muka atau down payment (DP) di awal Rp 35 juta dengan angsuran sebesar Rp 115 juta, itu berarti, harta dari rumah tersebut adalah Rp 500 juta. Jumlah DP plus cicilan Rp 150 juta dilaporkan sebagai utang yang telah dibayar, lalu sisanya sebesar Rp 350 juta disebutkan sebagai utang.
Luputnya pelaporan harta bisa disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya lupa ataupun disengaja untuk menghindari kewajiban pajak. Saat melaporkan SPT yang telah diisi, otoritas pajak akan melakukan pengecekan dengan mendalam supaya jumlah pajak yang dibayarkan nilainya akurat.
Perlu ketahui, seluruh data transaksi jual beli yang dilakukan, telah tercatat dan terkoneksi dengan Bank Indonesia (BI). Termasuk bila memanfaatkan fasilitas cicilan KPR atau kredit lainnya untuk membeli properti.
Otoritas pajak tentu akan mengetahui hal ini saat melakukan perhitungan pajak. Jika kemudian ditemukan ketidakseimbangan antara laporan dengan harta yang dimiliki, bisa dikenakan sanksi administrasi berupa denda hingga 150 persen dari jumlah pajak yang belum dibayarkan.
Semakin banyak pajak yang belum dilaporkan, semakin besar pula jumlah nilai yang harus dibayarkan. Pihak otoritas pajak akan memberitahu perkara harta yang tidak seimbang tersebut kepada wajib pajak, baik berupa surat fisik maupun surat elektronik.
Hal tersebut tercantum dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Nomor 28 tahun 2007 Pasal 8 ayat (1): “Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan”.
Wajib pajak dapat melakukan pembetulan SPT sebelum dilakukan pemeriksaan. Sanksi akan tetap dikenakan namun besarannya lebih kecil yaitu bunga dua persen atas jumlah pajak yang kurang dibayar terhitung sejak penyampaian SPT hingga tanggal pembetulan.
Namun, jika surat pemberitahuan tidak digubris hingga surat ketetapan pajak sudah dibuat, Anda harus membayar denda hingga sebesar 150 persen dari jumlah pajak yang belum dibayarkan kendati tetap diwajibkan membuat surat pembetulan pajak. Hal tersebut dijelaskan dalam PP 74 tahun 2011 pasal 5 ayat (1) yang berbunyi: “Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan”.
Jika pembetulan SPT belum juga dibuat sementara pajak yang selama ini dibayarkan tidak sesuai dengan harta sebenarnya, jumlah denda yang harus dibayar akan menjadi besar.